Minggu, 13 Januari 2013

manajemen keuangan islam PEBEDAAN BANK SYARIAH DENGAN BANK KONVENSIONAL



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Sudah cukup lama umat islam di Indonesia, demikian juga umat islam dibelahan dunia lainnya, menginginkan sistem perekonomian yang berbasis nilai-nilai dan prinsip syariah untuk dapat diterapkan dalam segenap asfek kehidupan bisnis dan transaksi umat. Keinginan ini didasari oleh suatu kesadaran untuk menerapkan islam secara utuh dan total.
Salah satu cara untuk menerapkan nilai nilai dan prinsip-prinsip syariah yaitu dengan dibangunnya sistem ekonomi perbankan syari’ah. Khusus di Indonesia upaya pengembangan bank syariah dilaksanakan dengan memperhatikan bahwa sebagian masyarakat muslim Indonesia pada saat ini saat menantikan suatu sistem perbankan syariah yang sehat dan terpercaya untuk mengakomodasi kebutuhan mereka terhadap layanan jasa perbankan yang sesuai dengan prinsip syariah. Pengembangan perbankan syariah juga ditujukan untuk meningkatkan mobilisasi[1] dana masyarakat yang selama ini belum terlayani oleh sistem perbankan konvensional. Selain itu, sejalan dengan upaya-upaya restrukturisasi perbankan, pengembangan bank syariah merupakan suatu alternatif sistem pelayanan jasa bank dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya.
Dengan diberlakukannya Undang-undang No.10 Tahun 1998[2], perbankan syariah telah mandapatkan kesempatan yang lebih luas untuk menyelenggarakan kegiatan usaha, termasuk pemberian kesempatan kepada bank umum konvensional untuk membuka kantor cabang yang khusus melaksanakan kegiatan berdasarkan prisip syariah. Pemberian kesempatan pembukaan kantor cabang syariah ini adalah sebagai upaya meningkatkan jaringan perbankan syariah yang tentunya akan dilakukan bersamaan dengan upaya pemberdayaan perbankan syariah. Upaya tersebut diharapkan akan mendorong perluasan jaringan kantor, pengembangan pasar uang antar bank syariah, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan kinerja bank syariah, yang pada intinya akan menunjang pembentukan landasan perekonomian rakyat yang lebih kuat dan tangguh.

B.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui perbedaan sistem ekonomi islam(sesuai dengan syariat islam) dengan sistem ekonomi konvensional,khuhusnya di bidang perbankan.
2.      Untuk mengetahui perkembangan ekonomi islam,khususnya dibidang perbankan.
















BAB II
PEMBAHASAN
I.       PEBEDAAN BANK SYARIAH DENGAN BANK KONVENSIONAL
Dalam beberapa hal, bank konvensional dan bank syariah mempunyai persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi computer yang digunakan, syarat-syarat umum pembiayaan seperti KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan, dan sebagainya. Namun, terdapat banyak perbedaan mendasar diantara keduanya. Perbedaan itu menyangkut asfek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja.
A.    Akad dan Asfek Legalitas 
Dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrowi, karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum islam. Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan atau perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarakan hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjian tersebutmemiliki pertanggungjawaban hingga yaumil qiyamah nanti.
Setiap akad dalam perbankan syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad, seperti:
Ø  Rukun, seperti:
·     Penjual
·     Pembeli
·     Barang
·     Harga
·     Akad/Ijab-Qabul.
Ø  Syarat, seperti:
·     Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah.
·     Harga barang dan jasa harus jelas.
·     Tempat penyerahan (delivery)[3] harus jelas karena akan berdampak pada biaya transfortasi.
·     Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan. Tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaksi short sale dalam pasar modal[4].
B.     Lembaga Penyelesaian Sengketa
Berbeda dengan perbankan konvensional, pada perbankan syariah jika terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, maka kedua belah pihak tidak menyelesaikannya di peradilan negeri, tetapi menyelesaikannya sesuai tata cara dan hukum materi syariah.
Lembaga yang mengatur hukum materi dan atau berdasarkan prinsip syariah di Indonesia dikenal dengan nama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia atau BAMUI,yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia[5].
C.     Struktur Organisasi  
Bank syariah dapat memiliki stuktur yang sama dengan bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi. Tapi unsur yang amat membedakan bank syariah dan bank konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasaional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah.
Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakan pada posisi setingkat Dewan Komsaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektivitas dari setiap opini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah. Karena itu, biasanya penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham, setelah para anggota Dewan  Pengawas Syariah mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional.




D.    Bisnis dan Usaha yang Dibiayai
Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari saringan syariah. Karena itu bank syariah tidak akan mungkin membiayai usaha yang terkandung didalamnya hal-hal yang diharamkan.
Dalam perbankan syariah suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok, diantaranya:
1.      Apakah objek pembiayaan halal atau haram?
2.      Apakah proyek menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat?
3.      Apakah proyek berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila?
4.      Apakah proyek berkaitan dengan perjudian?
5.      Apakah usaha itu berkaitan dengan industri senjata yang ilegal atau berorientasi pada pengembanagan senjata pembunuh masal?
6.      Apakah proyek dapat merugikan syiar islam, baik secara langsung atau tidak langsung
E.     Lingkungan Kerja dan Corporate Culture
Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan shiddiq harus melandasi setiap karyawan sehingga tercermin integritas eksekutif muslim yang baik. Disamping itu karyawan bank syariah harus skillful dan professional (fathonah) dan mampu melakukan tugas secara team-work[6] dimana informasi merata diseluruh fungsional organisasi (tablight). Demikian pula dalam hal reward dan punishment[7], diperlukan prinsip keadilan yang sesuai denga syariah.
Selain itu cara berpakaian dan tingkah laku dari para karyawan merupakan cerminan bahwa mereka bekerja dalam sebuah lembaga keuangan yang membawa nama besar islam, sehingga tidak ada aurat yang terbuka dan tingkah laku yang kasar. Demikian pula dalam menghadapi nasabah, akhlaq harus senantiasa terjaga.




F.      Perbandingan antara Bank Syariah dan Konvensional
Perbandingan antara bank syariah dan bank konvensional disajikan dalam tabel berikut[8]:

BANK ISLAM
BANK KONVENSIONAL
1.      Melakukan investasi-investasi yang halal saja.

2.      Berdasarkan prinsp bagi hasil, jual beli, atau sewa.


3.      Profit dan falah oriented.

4.      Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan.


5.      Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan Fatwa Dewan Pengawas Syariah
Investasi yang halal dan haram.


Memakai perangkat bunga.



Profit oriented

Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitur-kreditur.


Tidak terdapat dewan sejenis.

 




II.    MENABUNG DI BANK SYARIAH
A.    Pendahuluan
Menabung adalah tindakan yang dianjurkan dalam islam, karena dengan menabung berarti seorang muslim mempersiapkan diri untuk pelaksanaan perencanaan masa yang akan dating sekaligus untuk menghadapi hal-hal tidak diinginkan. Dalam Al Qur’an terdapat ayat-ayat yang secara tidak langsung telah memerintahkan kaum muslimin untuk mempersiapkan hari esok secara lebih baik, misalnya:
|·÷uø9ur šúïÏ%©!$# öqs9 (#qä.ts? ô`ÏB óOÎgÏÿù=yz Zp­ƒÍhèŒ $¸ÿ»yèÅÊ (#qèù%s{ öNÎgøŠn=tæ (#qà)­Guù=sù ©!$# (#qä9qà)uø9ur Zwöqs% #´ƒÏy   
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar”. (Q.S. An Nisa: 9)
Šuqtƒr& öNà2ßtnr& br& šcqä3s? ¼çms9 ×p¨Yy_ `ÏiB 9@ŠÏ¯R 5>$oYôãr&ur ̍ôfs? `ÏB $ygÏFóss? ㍻yg÷RF{$# ¼çms9 $ygÏù `ÏB Èe@à2 ÏNºtyJ¨W9$# çmt/$|¹r&ur çŽy9Å3ø9$# ¼ã&s!ur ×p­ƒÍhèŒ âä!$xÿyèàÊ 
“Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; Dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang Dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil(lemah)”. Q.S. Al Baqarah: 266)
Kedua ayat tersebut memerintahkan kita untuk bersiap-siap untuk mengantisipasi masa depan keturunan, baik secara rohani (iman/taqwa) maupun secara ekonomi harus dipikirkan langkah-langkah perencanaanya. Salah satu langkah perencanaan adalah dengan menabung.
B.     Perbedaan antara Menabung di Bank Syariah dengan Bank Konvensional
Secara teknik fisik, menabung di bank syariah dengan yang berlaku di bank konvensional hampir tidak ada perbedaan. Hal ini karena baik bank syariah maupun bank konvensional diharuskan mengikuti aturan teknis perbankan secara umum. Namun, jika diamati secara mendalam, maka terdapat perbedaan besar di antara keduanya.
Perbedaan pertama terletak pada akad. Pada bank syariah, semua transaksi harus berdasarkan akad yang dibenarkan oleh syariah. Dengan demikian, semua transaksi itu harus mengikuti kaidah dan aturan yang berlaku pada akad-akad muamalah syariah. Pada bank konvensional transaksi pembukaan rekening, baik giro, tabungan maupun deposito berdasarkan perjanjian titipan. Namun perjanjian titipan ini tidak mengikuti prinsip manapun dalam muamalah syariah, misalnya wadiah, karena salah satu penyimpangannya diantaranya menjanjikan imbalan dengan tingkat bunga tetap terhadap uang yang disetor.
Perbedaan kedua terdapat pada imbalan yang diberikan. Bank konvensional menggunakan konsep biaya (cost concept) untuk menghitung keuntungan. Artinya, bunga yang dijanjikan dimuka kepada nasabah penabung merupakan ongkos yang harus dibayar oleh bank. Karena itu, bank harus “menjual” kepada nasabah lainnya (peminjam) dengan biaya (bunga) yang lebih tinggi. Perbedaan diantara keduanya disebut spread. Jika bunga yang dibebankan kepada peminjam lebih tinggi daripada bunga yang harus dibayar kepada nasabah penabung. Maka bank akan mendapatkan spread positif. Jika bunga yang diperoleh dari si peminjam lebih rendah, maka terjadi spread negative bagi bank. Bank harus menutupnya dengan keuntungan yang dimiliki sebelumnya. Jika tidak ada, ia harus menanggulanginya dengan modal.
Bank syariah menggunakan pendekatan profit sharing, artinya dana yang diterima bank disalurkan kepada pembiayaan. Keuntungan yang didapatkan dari pembiayaan tersebut dibagi dua, untuk bank dan untuk nasabah, berdasarkan perjanjian pembagian keuntungan di muka (biasanya terdapat dalam formulir pembukaan rekening yang berdasarkan mudharabah).
Perbedaan ketiga adalah sasaran kredit/pembiayaan. Para penabung di bank konvensional tidak sadar bahwa uang yang ditabungkannya diputarkan kepada semua bisnis, tanpa memandang halal-haram bisnis tersebut. Bahkan sering terjadi dana tersebut digunakan untuk membiayai proyek-proyek milik grup perusahaan bank tersebut. Celakanya, kredit itu diberikan tanpa memandang apakah jumlahnya melebihi batas maksimum pemberian kredit (BMPK) ataupun tidak. Akibatnya, ketika krisis datang, dan kredit-kredit itu bermasalah, bank sulit mendapatkan pengembalian dana darinya.
Sedangkan dalam bank syariah, penyaluran dana simpanan dari masyarakat dibatasi oleh dua prinsip dasar, yaitu prinsip syariah dan prinsip keuntungan. Artinya, pembiayaan yang diberikan harus mengikuti kriteria-kriteria syariah,disamping pertimbangan-pertimbangan keuntungan. Misalnya, pemberian pembiayaan (kredit) harus kepada bisnis yang halal, tidak boleh kepada perusahaan atau bisnis yang memproduksi makanan dan minuman yang diharamkan, perjudian, pornografi, dan bisnis lain yang tidak sesuai dengan syariah. Karena itu, menabung di bank syariah relatif lebih aman ditinjau dari persfektif islam, karena akan mendapatakan keuntungan yang didapat dari bisnis yang halal[9].   
Perbedaan keempat adalah keunggulan konsep mengenai perbankan islam. Nyatanya bahwa bank konvensional adalah kreditor industry, berakibat merugikan kesehatan ekonomi negara. Tentu saja bank lebih mementingkan kepentingannya sendiri daripada kepentingan industri karena saham rielnya tidak ada disana. Dapat dikemukakan bahwa bank konvensional mengumpulkan tabungan yang tidak digunakan dan menyalurkannya untuk tujuan produksi dengan suku bunga rendah, dengan demikian ia menawarkan jasa besar kepada “umat manusia” oleh karena itu orang dapat berkata bahwa cara kerja suatu bank konvensional dalam suatu negara islam tidak salah. Tapi sayangnya bank konvensional hanya berpikir dari segi kepentingan mereka sendiri karena mereka dikendalikan oleh motif memburu untung. Para pengusaha yang mengambil pinjaman dari bank akan digugat dengan hukum perdata, dan dituntut dengan keji jika mereka tidak dapat membayar bunga walaupun mereka menderita kerugian dalam usahanya. Jadi bank ekonomi “kapitalis” mendorong investasi yang tidak sehat ketika “harga meningkat dengan tiba-tiba” dan investasi yang tidak sehat ini dapat menyebabkan depresi. Akibatnya depresi ini akan menjadi kronis. Tapi bank disuatu negara Islam yang menjadi mitra usaha dalam industri tidak akan pernah mendorong investasi tidak sehat. Dengan demikian kemungkinan depresi dalam suatu sistem Islami lebih sedikit. Bila depresi terjadi karena sebab lain, bank Islam berada dalam kedudukan yang lebih baik dalam menghadapi keadaan itu daripada bak kompensional karena suku bunga tetap yang memperlambat pemulihan depresi tidak dapat melaksanakan pengaruh zalimnya selama depresi.
Bank yang merupakan mitra usaha akan berbagi kerugian dan keuntungan. Tapi satu hal yang akan dicatat disini ialah dalam sistem ekonomi islam kemungkinan rugi kecil, karena investasi yang sehat berupa “pandanagn bisnis yang jeli dan pengalaman mengelola dana”, akan dapat berhubungan dengan industri. Sebagai akibat dari hubungan harmonis antara keuangan dan industri, derap langkah kemajuan ekonomi akan berlanjut. Industri akan tumbuh subur dan pendapatan nasional(negara) pun akan bertambah. Pendapat yang sama dinyatakan oleh Dr. A.I.Qureishi, dalam bukunya Islam and The Theory of Interest. Ia menulis: ”Harus diingat bahwa Negara akan berkembang secara industrial, urusan keuangan harus dibuat sedemikian rupa atas dasar persamaaan dengan industri. Ia harus didasarkan atas mitra usaha dengan industri tidak semata-mata atas dasar pembayaran bunga yang tetap. Bila pemilik modal adalah seorang mitra dalam industri, pandangan bisnisnya yang tajam dan pengalaman mengelola dananya mungkin bermanfaat sekali dan akan menyebabkan perkembangan industri yang lebih baik.”
Dengan mempertahankan sistem bunga, secara tidak langsung bank konvensional akan memperburuk masalah pengangguran, dan jika kita mau memikirkannya kita pun dapat memahami hal ini. Pemilik modal atau pengusaha akan enggan melakukan investasi bila tingkat laba dari investasi kurang dari tingkat bunga yang berlaku. Umpamanya, bila tingkat bunga yang berlaku adalah 4% dan uang dan uang yang diinvestasikan misalnya, dalam pekerjaan irigasi yang secara langsung hanya mengahasilkan 3%,maka menurut pandangan si “kapitalis”, irigasi tidak produktif. Karena itu uang tidak akan diinvestasikan dalam pekerjaan itu, walau bagaimanapun bergunanya pekerjaan ini bagi masyarakat. Akibatnya ialah sumber daya tidak akan dimanfaatkan, karena itu, jalur kesempatan kerja akan menjadi lebih kecil. Demikianlah Keynes dengan jelas mengakui bahwa suku bunga memainkan peran khusus dalam menempatkan suatu unit pada tingkat kesempatan kerja, karena efisien marjinal modal itu sendiri direndahkan oleh suku bunga. Ia menulis ”Dengan menentukan kecepatan untuk semua suku bunga komoditi lain suku bunga uang menahan investasi dalam produksi komoditi lainnya tanpa mampu mendorong investasi untuk memproduksi uang yang berdasarkan hipotesis tidak dapat diproduksi.”Kemudian, dalam bukunya The Keynesian Revolution (1950), Lawrence R. Klein, meragukan adanya suatu suku bunga positif pada tarap kesempatan kerja penuh, dengan kata-kata berikut:
“Suatu teori bunga dana yang dapat dipinjamkan harus mengandung arti bahwa, terlepas dari tingkat variable lain yang mempengaruhi tabungan dan investasi, seharusnya selalu terdapat suku bunga yang akan menyamakan tabungan dan investasi. Teori Keynes memperlihatkan bahwa memang terdapat tingkat variable yang lain yaitu kesempatan kerja penuh sedemikian rupa hingga tiada suku positif yang akan menyamakan tabungan dan investasi.”
Tapi dalam konsep perbankan syariah tidak terdapat gagasan bunga tetap yang ditentukan sebelumnya, jadi kalau diharapkan bahwa sumber daya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk memperbaiki masalah pengangguran.
Demikianlah Islam mendorong hubungan kemitraan yang memberi keuntungan. Lalu apakah alasan tidak diperkenankannya bunga pada pinjaman bisnis? Harus diingat bahwa bila terdapat suatu perbedaan antara para pemegang saham dan para pemegang obligasi dalam suatu perusahaan berdasarkan saham, pasti ada perbedaan pokok antara laba dan bunga. Hal ini tidak perlu diuraikan lebih lanjut. Islam melarang bunga karena bunga tidak mempengaruhi volume tabungan tetapi dapat membuat depresi kronis, memperburuk masalah pengangguran, dan mendorong pembagian kekayaan yang tidak merata. Bank konvensional mengenakan bunga terlepas dari keuntungan atau kerugian para pengusaha. Karena itu akan terlihat bahwa dalam sistem ekonomi kapitalis upaya terorganisasi dilakukan untuk mengurus kepentingan “si kaya”, dengan demikian menghilangkan kemungkinan menetapkan keseimbangan ekonomi dalam masyarakat. Berlawanan dengan hal ini Islam berusaha mencapai pemerataaan ekonomi dalam Negara dengan mengenakan zakat pada dana surplus.
Lembaga zakat adalah suatu unsur dalam sosialisme Islam. Sesungguhnya zakat adalah pajak, yang harus dibayar si kaya untuk kesejahteraan umum bangsa secara keseluruhan. Mengingat tujuannya yang sangat jelas, maka Profesor Pigeou “meneriakan” tentang ekonomi kesejahteraan berdasarkan penyerahan kekayaan dari si kaya kepada si miskin. Selama masa kekhalifahan, zakat sangat lengkap dan luas dasarnya sehingga ia tidak hanya menghasilkan redistribusi kekayaan secara sosialis, tapi juga cenderung menciptakan suatu kerangka pikiran non-kapitalis yang sehat dan suatu esprit de corps (saling hormat menghormati dalam suatu kelompok). Ringkasnya Islam menganggap bank sebagai salah satu alat terhebat untuk kemakmuran ekonomi suatu bangsa. Demikianlah harus disimpulkan bahwa perbankan lebih unggul dibandingkan dengan konsep perbankan kapitalis (konvensional)[10].                          

III.    MEMPEROLEH PEMBIAYAAN DARI BANK SYARIAH
A.    Urgensi Meminjam Dana untuk Usaha
Dalam islam manusia diwajibkan untuk berusaha agar ia mendapatkan rizki guna memenuhi kebutuhan kehidupannya. Islam juga mengajarkan kepada manusia bahwa Allah Maha Pemurah, sehingga rizki-Nya sangat luas. Bahkan Allah tidak memberikan rizki itu kepada kaum muslimin saja, tetapi kepada siapa saja yang bekerja keras.
Banyak ayat Al Qur’an dan hadits Nabi S.A.W yang memerintahkan manusia agar bekerja. Manusia dapat bekerja apa saja, yang penting tidak melanggar garis-garis yang telah ditentukan-Nya. Ia bisa melakukan aktifitas produksi, seperti pertanian, perkebunan, peternakan, pengolahan makanan dan minuman, dan sebagainya. Ia juga dapat melakukan aktifitas distribusi, seperti perdagangan, atau dalam bidang jasa, seperti transportasi, kesehatan, dan sebagainya.
Untuk memulai usaha ini diperlukan modal, seberapapun kecilnya. Adakalanya orang mendapatkan modal dari simpanannya atau dari keluarganya. Adapula yang meminjam kepada rekan-rekannya. Jika tidak tersedia, maka peran institusi keuangan menjadi sangat penting, karena dapat menyediakan modal bagi orang yang ingin berusaha.
Dalam islam, hubungan pinjam-meminjam tidak dilarang, bahkan dianjurkan agar terjadi hubungan saling menguntungkan, yang pada gilirannya berakibat kepada hubungan persaudaraan. Hal yang perlu diperhatikan adalah apabila hubungan itu tidak mengikuti aturan yang diajarkan oleh islam. Karena itu, pihak-pihak yang berhubungan harus mengikuti etika yang digariskan oleh islam.
B.     Etika Meminjam Secara Islami
Dalam perbankan syariah sebenarnya penggunaan kata pinjam-meminjam kurang tepat digunakan disebabkan dua hal. Pertama, pinjaman merupakan salah satu metode hubungan finansial dalam islam. Masih banyak metode yang diajarkan oleh syariah selain pinjaman, seperti jual beli, bagi hasil, sewa, dan sebagainya. Kedua, dalam islam pinjam-meminjam adalah akad sosial, bukan akad komersial. Artinya, bila seseorang meminjam sesuatu, dia tidak boleh disyaratkan untuk memberikan tambahan atas pokok pinjamannya. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi S.A.W,yang mengatakan bahwa setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat adalah riba. Sedangkan para ulama sepakat bahwa riba itu haram. Karena itu, dalam perbankan syariah pinjaman tidak disebut kredit tapi pembiayaan(financing)[11].
Jika seseorang datang kepada bank syariah dan ingin meminjam dana untuk membeli barang tertentu, misalnya mobil atau rumah, maka suka atau tidak suka ia harus melakukan jual-beli dengan bank syariah. Disini bank syariah bertindak selaku penjual dan nasabah bertindak selaku pembeli. Jika bank memberikan pinjaman (dalam pengertian konvensional) kepada nasabah untuk membeli barang-barang itu, maka bank tidak boleh mengambil keuntungan dari pinjaman itu. Sebagai lembaga komersial yang mengharapkan keuntungan, bank syariah tentu tidak mungkin melakukannya. Karena itu harus dilakukan jual-beli, dimana bank syariah dapat mengambil keuntungan dari harga barang yang dijual. Dan keuntungan dari jual beli dibolehkan dalam islam[12].
Lain pula halnya untuk keperluan usaha seperti bertani. Bank dan petani dalam hal ini dapat menyepakati kerjasama yang Saling menguntungkan bagi mereka. Biasanya ada dua pilihan, yaitu menggunakan skema bai’ as salam atau bagi hasil. Jika menggunakan bai’ as salam, maka bank bertindak sebagai pembeli dan petani bertindak sebagai penjual. Bank membeli gabah dari petani dengan harga, kualitas, dan kuantitas yang di sepakati saat diserahkan pada waktu yang akan datang, misalnya 3 bulan kemudian. Bank lalu membayar sesudah dilakukan perjanjian. Ketika jatuh tempo, maka petani berkewajiban untuk menyerahkan barang yang dibeli itu (gabah). Gabah itu bisa dijual lagi kepada pihak lain dan bank mendapatkan keuntungan darinya.
Jika usaha pertanian diatas menggunakan bagi hasil, maka bank menyediakan modalnya, sedangkan petani menjadi penggarapnya. Keduanya harus menyepakati pembagian hasil sebelum petani memulai garapannya.
Contoh lainnya adalah perdagangan. Karena dalam perdagangan umumnya ada perputaran dana, maka nasabah dapat mengajukan pembiayaan mudharabah[13]. Bank dan nasabah dapat berbagi hasil/keuntungan dengan memperkirakan perputaran rata-rata omset pada tiap bulannya.
C.    Syarat Administratif
Seperti juga dalam perbankan konvensional, perbankan syariah menetapkan syarat-syarat umum untuk sebuah pembiayaan, seperti:
1.      Surat permohonan tertulis, dengan dilampiri proposal yang memuat antara lain gambaran umum usaha, rencana atau prosfek usaha, rincian dan rencana penggunaan dana, jumlah kebutuhan dana, dan jangka waktu penggunaan dana.
2.      Legalitas usaha, seperti identitas diri, akta pendirian usaha, surat izin umum perusahaan, dan tanda daftar perusahaan.
3.      Laporan keuangan, seperti neraca dan laporan rugi laba, data persediaan terakhir, data penjualan, dan fotokopi rekening bank.




IV.    PERKEMBANGAN PERBANKAN SYARIAH
A.    Awal Kelahiran Sistem perbankan Syariah
      Hingga awal abad ke-20, bank syariah hanya merupakan bahan diskusi teoretis. Belum ada langkah nyata yang memungkinkan implementasi praktis gagasan tersebut. Padahal, telah muncul kesadaran bahwa bank syariah merupakan solusi masalah ekonomi untuk menghasilkan kesejahteraan sosial di negara-negara islam.
      Upaya memperkenalkan bank syariah saat itu baru berupa diskusi terbatas atas inisiatif individu. Upaya tersebut seperti tenggelam di tengah besar dan kuatnya sistem operasional bank-bank non-islam. Seolah-olah diskusi tersebut akan sia-sia belaka. Sepertinya tidak ada celah yang memungkinkan untuk mendirikan dan menerapkan sistem perbankan syariah.
      Namun, gagasan tersebut terus berkembang, meskipun secara perlahan. Beberapa uji coba mulai dilakukan. Mula-mula dalam bentuk proyek sederhana, lalu dikembangkan dalam kerjasama bersekala besar, hingga para pemrakarsa perbankan syariah dapat membuat infrastruktur sistem perbankan yang bebas bunga.

1.      Mit Ghomer Bank
      Rintisan perbankan syariah mulai mewujud di Mesir pada dekade 1960-an dan beroperasi sebagai rural-social bank (semacam lembaga keuangan unit desa di Indonesia) disepanjang delta sungai Nil. Lembaga dengan nama Mit Ghamar Bank binaan Prof. Dr. Ahmad Najjar tersebut hanya beroperasi di pedesaan Mesir dan berskala kecil. Namun, institusi tersebut mampu menjadi pemicu yang sangat  berarti bagi perkembangan sistem finansial dan ekonomi islam.
2.      Islamic Development Bank
      Pada sidang menteri Luar-Negeri negara-negara Organisasi Konferensi Islam di Karachi-Pakistan, Desember 1970, Mesir mengajukan sebuah proposal untuk mendirikan bank syariah. Proposal yang disebut studi tentang pendirian Bank Islam Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan (Internasional Islamic Bank for Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of Islamic Banks) dikaji para ahli dari 18 negara islam.
      Proposal tersebut pada intinya mengusulkan bahwa sistem keuangan berdasarkan bunga harus digantikan dengan suatu sistem kerjasama  dengan skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian. Proposal tersebut diterima. Sidang menyetujui rencana mendirikan Bank Islam Internasional dan Federasi Bank Islam.
Proposal tersebut antara lain mengusulkan untuk:
1.      Mengatur transaksi komersial antar Negara islam.
2.      Mengatur institusi pembangunandan investasi.
3.      Merumuskan masalah transfer, kliring, serta settlement antar bank sentaral di Negara islam sebagai langkah awal menuju terbentuknya system ekonomi islam yang terpadu.
4.      Membantu mendirikan institusi sejenis bank sentaral syariah di Negara islam.
5.      Mendukung upaya-upaya bank sentral di Negara islam dalam hal pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan kerangka kerja islam.
6.      Mengatur administrasi dan mendayagunakan dana zakat.
7.      Mengatur kelebihan likuiditas bank-bank sentral Negara islam.
Selain hal tersebut diatas, diusulkan pula pembentukan badan-badan khusus yang disebut Badan Investasi dan Pembangunan Negara-Negara Islam (Investment and development Body of Islamic Countries). Badan tersebut akan berfungsi sebagai berikut:
1.      Mengatur investasi modal islam.
2.      Menyeimbangkan antara investasi dan pembangunan di Negara islam.
3.      Memilih lahan/sector yang cocok untuk investasi dan mengatur penelitiannya.
4.      Memberi saran dan bantuan teknis bagi proyek-proyek yang dirancang untuk investasi regional di negara-negara islam.
      Sebagai rekomendasi tambahan, proposal tersebut mengusulkan pembentukan perwakilan-perwakilan khusus yaitu Asosiasi Bank-Bank Islam (Association of Islamic Banks) sebagai badan konsultatif untuk masalah-masalah ekonomi dan perbankan syariah. Tugas badan ini diantaranya menyediakan bantuan teknis bagi negara-negara islam yang ingin mendirikan bank syariah dan lembaga keuangan syariah. Bentuk dukungan teknis tersebut dapat berupa pengiriman para ahli ke negara tersebut, penyebaran atau sosialisasi sistem perbankan islam, dan saling tukar informasi dan pengalaman antarnegara islam.
      Pada Sidang Menteri Luar-Negeri OKI di Benghaji,Libya, Maret 1973, usulan tersebut kembali diagendakan. Sidang juga kemudian memutuskan agar Oki mempunyai bidang yang khusus menangani masalah ekonomi dan keuangan. Bulan Juli 1973, komite ahli yang mewakili negara-negara islam penghasil minyak bertemu di Jeddah untuk membicarakan pendirian bank islam. Rancangan pendirian bank tersebut, berupa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, dibahas pada pertemuan kedua, Mei 1974.
     Sidang Menteri Keuangan OKI di Jeddah 1975, menyetujui rancangan pendirian Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB) dengan modal awal 2 milyar dinar islam atau ekuivalen 2 milyar SDR (Special Drawing Right). Semua negara anggota OKI menjadi anggota IDB.
     Pada tahun-tahun awal beroperasinya, IDB mengalami banyak hambatan karena masalah politik. Meskipun demikian, jumlah anggotanya makin meningkat, dari 22 menjadi 43 negara. IDB juga terbukti mampu memainkan peran yang sangat penting dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan negara-negara Islam untuk pembangunan. Bank ini memberikan pinjaman bebas bunga untuk proyek infrastruktur  dan pembiayaan kepada negara anggota berdasarkan partisipasi modal negara tersebut. Dana yang tidak dibutuhkan negara segera digunakan bagi perdagangan luar negeri jangka panjang dengan menggunakan sistem murabahah dan ijarah.
3.      Islamic Research and Training Institute
IDB juga membantu mendirikan bank-bank islam di berbagai negara. Untuk pengembangan sistem ekonomi syariah, institusi ini membangun sebuah institut riset dan pelatihan untuk pengembangan penelitian dan pelatihan ekonomi islam, baik dalam bidang perbankan maupun keuangan secara umum. Lembaga ini disingkat IRTI (Islamic Research and Training Institute).

B.     Pembentukan Bank-Bank Syariah
      Berdirinya IDB telah memotivasi banyak negara islam untuk mendirikan lembaga keuangan syariah. Untuk itu, komite ahli IDB pun bekerja keras menyiapkan panduan tentang pendirian, peraturan, dan pengawasan bank syariah. Kerja keras mereka membuahkan hasil. Pada akhir periode 1970-an dan awal dekade 1980-an, bank-bank syariah bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh serta Turki.
     Secara garis besar, lembaga-lembaga tersebut dapat dimasukkan ke dalam dua kategori. Pertama, bank islam komersial (Islamic Comercial Bank). Kedua, lembaga investasi dalam bentuk Internasional Holding Companies[14].
     Bank bank yang masuk kategori pertama diantaranya: 
1.      Faisal Islamic Bank (di Mesir dan Sudan)
2.      Kuwait Finance House
3.      Dubai Islamic Bank
4.      Jordan Islamic Bank for Finance and Investment
5.      Bahrain Islamic Bank
6.      Islamic Internasional Bank for Investment and Development (Mesir)
      Adapun yang termasuk kategori kedua:
1.      Daar Al-Maal Al-Islami (Jenewa)
2.      Islamic Investment Company of the Gulf
3.      Islamic Investment Company (Bahama)
4.      Islamic Investment Company (Sudan)
5.      Bahrain Islamic Investment Bank (Manama)
6.      Islamic Investment House (Amman)

C.    Perkembangan Bank Syariah di Indonesia
      Berkembangnya bank-bank syariah di negara-negara Islam berpengaruh ke Indonesia. Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi islam mulai dilakukan. Para tokoh yang terliabat dalam kajian tersebut adalah Karnaen A. Perwataatmaja, M. Dawan Hahardjo, A.M. Saefudin, M. Amien Azis, dan lain-lain. Beberapa uji coba pada skala yang relatif terbatas telah diwujudkan. Diantaranya, adalah Baitut Tamwil-Salman, Bandung, yang yang sempat tumbuh mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koperasi Ridho Gusti.
      Namun, prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam di Indonesia baru dilakukan pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agustus 1990 menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya Jakarta, 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas IV MUI, dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia.
     Kelompok kerja yang disebut Tim Perbankan MUI bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.











BAB III
KESIMPULAN

Dalam beberapa hal, bank konvensional dan bank syariah mempunyai persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan, syarat-syarat umum pembiayaan seperti KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan, dan sebagainya. Namun, terdapat banyak perbedaan mendasar diantara keduanya. Perbedaan itu menyangkut asfek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja.
Sangat disayangkan, dewasa ini masih banyak kalangan yang menilai bahwa Islam tidak berurusan dengan bank dan pasar uang, karena yang pertama adala dunia putih sementara yang kedua adala dunia hitam, penuh tipu daya dan kelicikan. Oleh karena itu tidaklah mengherankan beberapa cendekiawan dan ekonom melihat Islam, dengan sistem nilai dan tatanan normatifnya, sebagai faktor penghambat pembangunan. Penganut faham liberalism dan pragmatisme sempit ini menilai bahwa kegiatan ekonomi dan keuangan akan semakin meningkat dan berkembang bila dibebaskan dari nilai-nilai normative dan rambu-rambu Ilahi. Adalah saatnya kita menegaskan kembali bahwa muamalah syariah, dengan filosofi utama kemitraan dan kebersamaan dapat mewujudkan kegiatan ekonomi yang lebih adil dan transparan. Adalah saatnya kita membuktikan bahwa dengan sistem perbankan syariah kita dapat menghilangkan wabah penyakit negative spread (keuntungan minus) dari dunia perbankan hingga keakar-akarnya. 





DAFTAR PUSTAKA

 Antonio, Muhammad Syafi’i. 1999. Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum. Jakarta:Tazkia Institute
Al-Barry, M.D.J, & A.T. Sofyan Hadi.  2000. Kamus Ilmiah Kontemporer. Bandung:Pustaka Setia.
Tim KHES. 2008. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Mahkamah Agung Republik Indonesia.
M. Echols John, & Shadily Hassan. Kamus Inggris Indonesia/An English-Indonesian Dictionary. Jakarta:Gramedia
Manan, Muhammad Abdul. 1993. Teori dan praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta:Dana Bhakti Wakaf.
Syafe’I, Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.


  




 


       
  


[1] Al-Barry, M.D.J, & A.T. Sofyan Hadi. Kamus Ilmiah Kontemporer. (Bandung:Pustaka Setia.2000) hlm 210. Dalam kamus ini Mobilisasi berarti Pengerahan.
[2] Tim KHES. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Mahkamah Agung Republik Indonesia,2008).
[3] M. Echols John, & Shadily Hassan. Kamus Inggris Indonesia/An English-Indonesian Dictionary. (Gramedia) hlm 173.
[4] Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum (Tazkia Institute,I999) hlm 194.
[5] Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum (Tazkia Institute,I999) hlm 194.

[6] M. Echols John, & Shadily Hassan. Kamus Inggris Indonesia/An English-Indonesian Dictionary. (Gramedia) hlm 581. Dalam kamus Team Work berarti Kerja Sama Sekelompok.
[7] M. Echols John, & Shadily Hassan. Kamus Inggris Indonesia/An English-Indonesian Dictionary. (Gramedia) hlm 456 dan 485. Dalam kamus ini Reward berarti Hadiah, sedangkan Punishment berarti hukuman(sanksi).
[8] Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum (Tazkia Institute,I999) hlm 199.

[9] Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum (Tazkia Institute,I999) hlm 205-211


[10] Manan, Muhammad Abdul. Teori dan praktek Ekonomi Islam. (Yogyakarta:Dana Bhakti Wakaf.1993) hlm 173-   175.
[11] Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum (Tazkia Institute,I999) hlm 218


[12] (Q.S. Al-Baqarah:275).
[13] Syafe’I, Rachmat. Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia. 2001) hlm 223.
[14] Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum (Tazkia Institute,I999) hlm 232