BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sudah
cukup lama umat islam di Indonesia, demikian juga umat islam dibelahan dunia
lainnya, menginginkan sistem perekonomian yang berbasis nilai-nilai dan prinsip
syariah untuk dapat diterapkan dalam segenap asfek kehidupan bisnis dan
transaksi umat. Keinginan ini didasari oleh suatu kesadaran untuk menerapkan
islam secara utuh dan total.
Salah
satu cara untuk menerapkan nilai nilai dan prinsip-prinsip syariah yaitu dengan
dibangunnya sistem ekonomi perbankan syari’ah. Khusus di Indonesia upaya
pengembangan bank syariah dilaksanakan dengan memperhatikan bahwa sebagian
masyarakat muslim Indonesia pada saat ini saat menantikan suatu sistem perbankan
syariah yang sehat dan terpercaya untuk mengakomodasi kebutuhan mereka terhadap
layanan jasa perbankan yang sesuai dengan prinsip syariah. Pengembangan perbankan
syariah juga ditujukan untuk meningkatkan mobilisasi[1]
dana masyarakat yang selama ini belum terlayani oleh sistem perbankan
konvensional. Selain itu, sejalan dengan upaya-upaya restrukturisasi perbankan,
pengembangan bank syariah merupakan suatu alternatif sistem pelayanan jasa bank
dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya.
Dengan
diberlakukannya Undang-undang No.10 Tahun 1998[2],
perbankan syariah telah mandapatkan kesempatan yang lebih luas untuk
menyelenggarakan kegiatan usaha, termasuk pemberian kesempatan kepada bank umum
konvensional untuk membuka kantor cabang yang khusus melaksanakan kegiatan
berdasarkan prisip syariah. Pemberian kesempatan pembukaan kantor cabang
syariah ini adalah sebagai upaya meningkatkan jaringan perbankan syariah yang
tentunya akan dilakukan bersamaan dengan upaya pemberdayaan perbankan syariah.
Upaya tersebut diharapkan akan mendorong perluasan jaringan kantor,
pengembangan pasar uang antar bank syariah, peningkatan kualitas sumber daya
manusia, dan kinerja bank syariah, yang pada intinya akan menunjang pembentukan
landasan perekonomian rakyat yang lebih kuat dan tangguh.
B. Tujuan
1.
Untuk mengetahui
perbedaan sistem ekonomi islam(sesuai dengan syariat islam) dengan sistem
ekonomi konvensional,khuhusnya di bidang perbankan.
2.
Untuk mengetahui
perkembangan ekonomi islam,khususnya dibidang perbankan.
BAB II
PEMBAHASAN
I. PEBEDAAN BANK SYARIAH
DENGAN BANK KONVENSIONAL
Dalam beberapa hal, bank konvensional
dan bank syariah mempunyai persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan
uang, mekanisme transfer, teknologi computer yang digunakan, syarat-syarat umum
pembiayaan seperti KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan, dan sebagainya.
Namun, terdapat banyak perbedaan mendasar diantara keduanya. Perbedaan itu
menyangkut asfek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan
lingkungan kerja.
A.
Akad dan Asfek
Legalitas
Dalam
bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrowi,
karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum islam. Seringkali nasabah berani
melanggar kesepakatan atau perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya
berdasarakan hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjian
tersebutmemiliki pertanggungjawaban hingga yaumil
qiyamah nanti.
Setiap
akad dalam perbankan syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun
ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad, seperti:
Ø Rukun,
seperti:
· Penjual
· Pembeli
· Barang
· Harga
· Akad/Ijab-Qabul.
Ø Syarat,
seperti:
· Barang
dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi
batal demi hukum syariah.
· Harga
barang dan jasa harus jelas.
· Tempat
penyerahan (delivery)[3]
harus jelas karena akan berdampak pada biaya transfortasi.
· Barang
yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan. Tidak boleh menjual
sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaksi
short sale dalam pasar modal[4].
B.
Lembaga
Penyelesaian Sengketa
Berbeda
dengan perbankan konvensional, pada perbankan syariah jika terdapat perbedaan
atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, maka kedua belah pihak tidak
menyelesaikannya di peradilan negeri, tetapi menyelesaikannya sesuai tata cara
dan hukum materi syariah.
Lembaga
yang mengatur hukum materi dan atau berdasarkan prinsip syariah di Indonesia
dikenal dengan nama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia atau BAMUI,yang
didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis
Ulama Indonesia[5].
C.
Struktur
Organisasi
Bank
syariah dapat memiliki stuktur yang sama dengan bank konvensional, misalnya
dalam hal komisaris dan direksi. Tapi unsur yang amat membedakan bank syariah
dan bank konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang
bertugas mengawasi operasaional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan
garis-garis syariah.
Dewan
Pengawas Syariah biasanya diletakan pada posisi setingkat Dewan Komsaris pada
setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektivitas dari setiap opini yang
diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah. Karena itu, biasanya penetapan anggota Dewan
Pengawas Syariah dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham, setelah para anggota
Dewan Pengawas Syariah mendapat
rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional.
D.
Bisnis dan Usaha
yang Dibiayai
Dalam
bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari saringan
syariah. Karena itu bank syariah tidak akan mungkin membiayai usaha yang
terkandung didalamnya hal-hal yang diharamkan.
Dalam
perbankan syariah suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan
beberapa hal pokok, diantaranya:
1.
Apakah objek
pembiayaan halal atau haram?
2.
Apakah proyek
menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat?
3.
Apakah proyek
berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila?
4.
Apakah proyek
berkaitan dengan perjudian?
5.
Apakah usaha itu
berkaitan dengan industri senjata yang ilegal atau berorientasi pada
pengembanagan senjata pembunuh masal?
6.
Apakah proyek
dapat merugikan syiar islam, baik secara langsung atau tidak langsung
E.
Lingkungan Kerja
dan Corporate Culture
Sebuah
bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah.
Dalam hal etika, misalnya sifat amanah
dan shiddiq harus melandasi setiap
karyawan sehingga tercermin integritas eksekutif muslim yang baik. Disamping
itu karyawan bank syariah harus skillful dan professional (fathonah) dan mampu melakukan tugas secara team-work[6]
dimana informasi merata diseluruh fungsional organisasi (tablight). Demikian pula dalam hal reward dan punishment[7],
diperlukan prinsip keadilan yang sesuai denga syariah.
Selain
itu cara berpakaian dan tingkah laku dari para karyawan merupakan cerminan
bahwa mereka bekerja dalam sebuah lembaga keuangan yang membawa nama besar islam,
sehingga tidak ada aurat yang terbuka dan tingkah laku yang kasar. Demikian
pula dalam menghadapi nasabah, akhlaq harus senantiasa terjaga.
F.
Perbandingan
antara Bank Syariah dan Konvensional
Perbandingan antara
bank syariah dan bank konvensional disajikan dalam tabel berikut[8]:
BANK ISLAM
|
BANK KONVENSIONAL
|
1.
Melakukan investasi-investasi
yang halal saja.
2.
Berdasarkan
prinsp bagi hasil, jual beli, atau sewa.
3.
Profit dan
falah oriented.
4.
Hubungan
dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan.
5.
Penghimpunan
dan penyaluran dana harus sesuai dengan Fatwa Dewan Pengawas Syariah
|
Investasi
yang halal dan haram.
Memakai
perangkat bunga.
Profit
oriented
Hubungan
dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitur-kreditur.
Tidak
terdapat dewan sejenis.
|
II.
MENABUNG
DI BANK SYARIAH
A. Pendahuluan
Menabung adalah
tindakan yang dianjurkan dalam islam, karena dengan menabung berarti seorang
muslim mempersiapkan diri untuk pelaksanaan perencanaan masa yang akan dating
sekaligus untuk menghadapi hal-hal tidak diinginkan. Dalam Al Qur’an terdapat
ayat-ayat yang secara tidak langsung telah memerintahkan kaum muslimin untuk
mempersiapkan hari esok secara lebih baik, misalnya:
|·÷uø9ur úïÏ%©!$# öqs9 (#qä.ts? ô`ÏB óOÎgÏÿù=yz ZpÍhè $¸ÿ»yèÅÊ (#qèù%s{ öNÎgøn=tæ (#qà)Guù=sù ©!$# (#qä9qà)uø9ur Zwöqs% #´Ïy
“Dan hendaklah takut
kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka
anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.
oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan Perkataan yang benar”. (Q.S. An Nisa: 9)
uqtr& öNà2ßtnr& br& cqä3s? ¼çms9 ×p¨Yy_ `ÏiB 9@ϯR 5>$oYôãr&ur Ìôfs? `ÏB $ygÏFóss? ã»yg÷RF{$# ¼çms9 $ygÏù `ÏB Èe@à2 ÏNºtyJ¨W9$# çmt/$|¹r&ur çy9Å3ø9$# ¼ã&s!ur ×pÍhè âä!$xÿyèàÊ
“Apakah
ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai; Dia mempunyai dalam kebun itu segala macam
buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang Dia mempunyai
keturunan yang masih kecil-kecil(lemah)”. Q.S. Al
Baqarah: 266)
Kedua ayat tersebut
memerintahkan kita untuk bersiap-siap untuk mengantisipasi masa depan
keturunan, baik secara rohani (iman/taqwa) maupun secara ekonomi harus
dipikirkan langkah-langkah perencanaanya. Salah satu langkah perencanaan adalah
dengan menabung.
B. Perbedaan antara
Menabung di Bank Syariah dengan Bank Konvensional
Secara
teknik fisik, menabung di bank syariah dengan yang berlaku di bank konvensional
hampir tidak ada perbedaan. Hal ini karena baik bank syariah maupun bank
konvensional diharuskan mengikuti aturan teknis perbankan secara umum. Namun,
jika diamati secara mendalam, maka terdapat perbedaan besar di antara keduanya.
Perbedaan pertama
terletak pada akad. Pada bank syariah, semua transaksi harus berdasarkan akad
yang dibenarkan oleh syariah. Dengan demikian, semua transaksi itu harus
mengikuti kaidah dan aturan yang berlaku pada akad-akad muamalah syariah. Pada
bank konvensional transaksi pembukaan rekening, baik giro, tabungan maupun deposito
berdasarkan perjanjian titipan. Namun perjanjian titipan ini tidak mengikuti
prinsip manapun dalam muamalah syariah, misalnya wadiah, karena salah satu
penyimpangannya diantaranya menjanjikan imbalan dengan tingkat bunga tetap
terhadap uang yang disetor.
Perbedaan kedua
terdapat pada imbalan yang diberikan. Bank konvensional menggunakan konsep
biaya (cost concept) untuk menghitung
keuntungan. Artinya, bunga yang dijanjikan dimuka kepada nasabah penabung
merupakan ongkos yang harus dibayar oleh bank. Karena itu, bank harus “menjual”
kepada nasabah lainnya (peminjam) dengan biaya (bunga) yang lebih tinggi.
Perbedaan diantara keduanya disebut spread. Jika bunga yang dibebankan kepada
peminjam lebih tinggi daripada bunga yang harus dibayar kepada nasabah
penabung. Maka bank akan mendapatkan spread
positif. Jika bunga yang diperoleh dari si peminjam lebih rendah, maka terjadi spread negative bagi bank. Bank harus
menutupnya dengan keuntungan yang dimiliki sebelumnya. Jika tidak ada, ia harus
menanggulanginya dengan modal.
Bank
syariah menggunakan pendekatan profit
sharing, artinya dana yang diterima bank disalurkan kepada pembiayaan.
Keuntungan yang didapatkan dari pembiayaan tersebut dibagi dua, untuk bank dan
untuk nasabah, berdasarkan perjanjian pembagian keuntungan di muka (biasanya
terdapat dalam formulir pembukaan rekening yang berdasarkan mudharabah).
Perbedaan ketiga adalah
sasaran kredit/pembiayaan. Para penabung di bank konvensional tidak sadar bahwa
uang yang ditabungkannya diputarkan kepada semua bisnis, tanpa memandang halal-haram bisnis tersebut. Bahkan
sering terjadi dana tersebut digunakan untuk membiayai proyek-proyek milik grup
perusahaan bank tersebut. Celakanya, kredit itu diberikan tanpa memandang apakah
jumlahnya melebihi batas maksimum pemberian kredit (BMPK) ataupun tidak.
Akibatnya, ketika krisis datang, dan kredit-kredit itu bermasalah, bank sulit
mendapatkan pengembalian dana darinya.
Sedangkan
dalam bank syariah, penyaluran dana simpanan dari masyarakat dibatasi oleh dua
prinsip dasar, yaitu prinsip syariah dan prinsip keuntungan. Artinya,
pembiayaan yang diberikan harus mengikuti kriteria-kriteria syariah,disamping
pertimbangan-pertimbangan keuntungan. Misalnya, pemberian pembiayaan (kredit)
harus kepada bisnis yang halal, tidak boleh kepada perusahaan atau bisnis yang
memproduksi makanan dan minuman yang diharamkan, perjudian, pornografi, dan
bisnis lain yang tidak sesuai dengan syariah. Karena itu, menabung di bank
syariah relatif lebih aman ditinjau dari persfektif islam, karena akan
mendapatakan keuntungan yang didapat dari bisnis yang halal[9].
Perbedaan keempat adalah
keunggulan konsep mengenai perbankan islam. Nyatanya bahwa bank konvensional
adalah kreditor industry, berakibat merugikan kesehatan ekonomi negara. Tentu
saja bank lebih mementingkan kepentingannya sendiri daripada kepentingan industri
karena saham rielnya tidak ada disana. Dapat dikemukakan bahwa bank
konvensional mengumpulkan tabungan yang tidak digunakan dan menyalurkannya
untuk tujuan produksi dengan suku bunga rendah, dengan demikian ia menawarkan
jasa besar kepada “umat manusia” oleh
karena itu orang dapat berkata bahwa cara kerja suatu bank konvensional dalam
suatu negara islam tidak salah. Tapi sayangnya bank konvensional hanya berpikir
dari segi kepentingan mereka sendiri karena mereka dikendalikan oleh motif
memburu untung. Para pengusaha yang mengambil pinjaman dari bank akan digugat
dengan hukum perdata, dan dituntut dengan keji jika mereka tidak dapat membayar
bunga walaupun mereka menderita kerugian dalam usahanya. Jadi bank ekonomi “kapitalis”
mendorong investasi yang tidak sehat ketika “harga meningkat dengan tiba-tiba”
dan investasi yang tidak sehat ini dapat menyebabkan depresi. Akibatnya depresi
ini akan menjadi kronis. Tapi bank disuatu negara Islam yang menjadi mitra
usaha dalam industri tidak akan pernah mendorong investasi tidak sehat. Dengan
demikian kemungkinan depresi dalam suatu sistem Islami lebih sedikit. Bila
depresi terjadi karena sebab lain, bank Islam berada dalam kedudukan yang lebih
baik dalam menghadapi keadaan itu daripada bak kompensional karena suku bunga
tetap yang memperlambat pemulihan depresi tidak dapat melaksanakan pengaruh
zalimnya selama depresi.
Bank
yang merupakan mitra usaha akan berbagi kerugian dan keuntungan. Tapi satu hal
yang akan dicatat disini ialah dalam sistem ekonomi islam kemungkinan rugi
kecil, karena investasi yang sehat berupa “pandanagn bisnis yang jeli dan
pengalaman mengelola dana”, akan dapat berhubungan dengan industri. Sebagai
akibat dari hubungan harmonis antara keuangan dan industri, derap langkah
kemajuan ekonomi akan berlanjut. Industri akan tumbuh subur dan pendapatan
nasional(negara) pun akan bertambah. Pendapat yang sama dinyatakan oleh Dr.
A.I.Qureishi, dalam bukunya Islam and The
Theory of Interest. Ia menulis: ”Harus diingat bahwa Negara akan berkembang
secara industrial, urusan keuangan harus dibuat sedemikian rupa atas dasar
persamaaan dengan industri. Ia harus didasarkan atas mitra usaha dengan
industri tidak semata-mata atas dasar pembayaran bunga yang tetap. Bila pemilik
modal adalah seorang mitra dalam industri, pandangan bisnisnya yang tajam dan
pengalaman mengelola dananya mungkin bermanfaat sekali dan akan menyebabkan
perkembangan industri yang lebih baik.”
Dengan
mempertahankan sistem bunga, secara tidak langsung bank konvensional akan
memperburuk masalah pengangguran, dan jika kita mau memikirkannya kita pun
dapat memahami hal ini. Pemilik modal atau pengusaha akan enggan melakukan
investasi bila tingkat laba dari investasi kurang dari tingkat bunga yang
berlaku. Umpamanya, bila tingkat bunga yang berlaku adalah 4% dan uang dan uang
yang diinvestasikan misalnya, dalam pekerjaan irigasi yang secara langsung
hanya mengahasilkan 3%,maka menurut pandangan si “kapitalis”, irigasi tidak
produktif. Karena itu uang tidak akan diinvestasikan dalam pekerjaan itu, walau
bagaimanapun bergunanya pekerjaan ini bagi masyarakat. Akibatnya ialah sumber
daya tidak akan dimanfaatkan, karena itu, jalur kesempatan kerja akan menjadi
lebih kecil. Demikianlah Keynes dengan jelas mengakui bahwa suku bunga
memainkan peran khusus dalam menempatkan suatu unit pada tingkat kesempatan
kerja, karena efisien marjinal modal itu sendiri direndahkan oleh suku bunga.
Ia menulis ”Dengan menentukan kecepatan untuk semua suku bunga komoditi lain
suku bunga uang menahan investasi dalam produksi komoditi lainnya tanpa mampu
mendorong investasi untuk memproduksi uang yang berdasarkan hipotesis tidak
dapat diproduksi.”Kemudian, dalam bukunya
The Keynesian Revolution (1950), Lawrence R. Klein, meragukan adanya suatu
suku bunga positif pada tarap kesempatan kerja penuh, dengan kata-kata berikut:
“Suatu
teori bunga dana yang dapat dipinjamkan harus mengandung arti bahwa, terlepas
dari tingkat variable lain yang mempengaruhi tabungan dan investasi, seharusnya
selalu terdapat suku bunga yang akan menyamakan tabungan dan investasi. Teori
Keynes memperlihatkan bahwa memang terdapat tingkat variable yang lain yaitu
kesempatan kerja penuh sedemikian rupa hingga tiada suku positif yang akan
menyamakan tabungan dan investasi.”
Tapi
dalam konsep perbankan syariah tidak terdapat gagasan bunga tetap yang
ditentukan sebelumnya, jadi kalau diharapkan bahwa sumber daya dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya untuk memperbaiki masalah pengangguran.
Demikianlah
Islam mendorong hubungan kemitraan yang memberi keuntungan. Lalu apakah alasan
tidak diperkenankannya bunga pada pinjaman bisnis? Harus diingat bahwa bila
terdapat suatu perbedaan antara para pemegang saham dan para pemegang obligasi
dalam suatu perusahaan berdasarkan saham, pasti ada perbedaan pokok antara laba
dan bunga. Hal ini tidak perlu diuraikan lebih lanjut. Islam melarang bunga
karena bunga tidak mempengaruhi volume tabungan tetapi dapat membuat depresi
kronis, memperburuk masalah pengangguran, dan mendorong pembagian kekayaan yang
tidak merata. Bank konvensional mengenakan bunga terlepas dari keuntungan atau
kerugian para pengusaha. Karena itu akan terlihat bahwa dalam sistem ekonomi
kapitalis upaya terorganisasi dilakukan untuk mengurus kepentingan “si kaya”,
dengan demikian menghilangkan kemungkinan menetapkan keseimbangan ekonomi dalam
masyarakat. Berlawanan dengan hal ini Islam berusaha mencapai pemerataaan
ekonomi dalam Negara dengan mengenakan zakat pada dana surplus.
Lembaga zakat
adalah suatu unsur dalam sosialisme Islam. Sesungguhnya zakat adalah pajak,
yang harus dibayar si kaya untuk kesejahteraan umum bangsa secara keseluruhan.
Mengingat tujuannya yang sangat jelas, maka Profesor Pigeou “meneriakan”
tentang ekonomi kesejahteraan berdasarkan penyerahan kekayaan dari si kaya
kepada si miskin. Selama masa kekhalifahan, zakat sangat lengkap dan luas
dasarnya sehingga ia tidak hanya menghasilkan redistribusi kekayaan secara
sosialis, tapi juga cenderung menciptakan suatu kerangka pikiran non-kapitalis
yang sehat dan suatu esprit de corps (saling
hormat menghormati dalam suatu kelompok). Ringkasnya Islam menganggap bank
sebagai salah satu alat terhebat untuk kemakmuran ekonomi suatu bangsa.
Demikianlah harus disimpulkan bahwa perbankan lebih unggul dibandingkan dengan
konsep perbankan kapitalis (konvensional)[10].
III. MEMPEROLEH
PEMBIAYAAN DARI BANK SYARIAH
A. Urgensi Meminjam
Dana untuk Usaha
Dalam
islam manusia diwajibkan untuk berusaha agar ia mendapatkan rizki guna memenuhi
kebutuhan kehidupannya. Islam juga mengajarkan kepada manusia bahwa Allah Maha
Pemurah, sehingga rizki-Nya sangat luas. Bahkan Allah tidak memberikan rizki
itu kepada kaum muslimin saja, tetapi kepada siapa saja yang bekerja keras.
Banyak
ayat Al Qur’an dan hadits Nabi S.A.W yang memerintahkan manusia agar bekerja.
Manusia dapat bekerja apa saja, yang penting tidak melanggar garis-garis yang
telah ditentukan-Nya. Ia bisa melakukan aktifitas produksi, seperti pertanian,
perkebunan, peternakan, pengolahan makanan dan minuman, dan sebagainya. Ia juga
dapat melakukan aktifitas distribusi, seperti perdagangan, atau dalam bidang
jasa, seperti transportasi, kesehatan, dan sebagainya.
Untuk
memulai usaha ini diperlukan modal, seberapapun kecilnya. Adakalanya orang
mendapatkan modal dari simpanannya atau dari keluarganya. Adapula yang meminjam
kepada rekan-rekannya. Jika tidak tersedia, maka peran institusi keuangan
menjadi sangat penting, karena dapat menyediakan modal bagi orang yang ingin
berusaha.
Dalam
islam, hubungan pinjam-meminjam tidak dilarang, bahkan dianjurkan agar terjadi
hubungan saling menguntungkan, yang pada gilirannya berakibat kepada hubungan
persaudaraan. Hal yang perlu diperhatikan adalah apabila hubungan itu tidak
mengikuti aturan yang diajarkan oleh islam. Karena itu, pihak-pihak yang
berhubungan harus mengikuti etika yang digariskan oleh islam.
B. Etika Meminjam
Secara Islami
Dalam
perbankan syariah sebenarnya penggunaan kata pinjam-meminjam kurang
tepat digunakan disebabkan dua hal. Pertama,
pinjaman merupakan salah satu metode hubungan finansial dalam islam. Masih
banyak metode yang diajarkan oleh syariah selain pinjaman, seperti jual beli,
bagi hasil, sewa, dan sebagainya. Kedua,
dalam islam pinjam-meminjam adalah akad sosial, bukan akad komersial. Artinya,
bila seseorang meminjam sesuatu, dia tidak boleh disyaratkan untuk memberikan
tambahan atas pokok pinjamannya. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi S.A.W,yang
mengatakan bahwa setiap pinjaman yang
menghasilkan manfaat adalah riba.
Sedangkan para ulama sepakat bahwa riba itu haram. Karena itu, dalam perbankan
syariah pinjaman tidak disebut kredit tapi pembiayaan(financing)[11].
Jika
seseorang datang kepada bank syariah dan ingin meminjam dana untuk membeli barang tertentu, misalnya mobil atau
rumah, maka suka atau tidak suka ia harus melakukan jual-beli dengan bank
syariah. Disini bank syariah bertindak selaku penjual dan nasabah bertindak
selaku pembeli. Jika bank memberikan pinjaman (dalam pengertian konvensional)
kepada nasabah untuk membeli barang-barang itu, maka bank tidak boleh mengambil
keuntungan dari pinjaman itu. Sebagai lembaga komersial yang mengharapkan
keuntungan, bank syariah tentu tidak mungkin melakukannya. Karena itu harus
dilakukan jual-beli, dimana bank syariah dapat mengambil keuntungan dari harga
barang yang dijual. Dan keuntungan dari jual beli dibolehkan dalam islam[12].
Lain
pula halnya untuk keperluan usaha seperti bertani. Bank dan petani dalam hal
ini dapat menyepakati kerjasama yang Saling menguntungkan bagi mereka. Biasanya
ada dua pilihan, yaitu menggunakan skema bai’
as salam atau bagi hasil. Jika
menggunakan bai’ as salam, maka bank
bertindak sebagai pembeli dan petani bertindak sebagai penjual. Bank membeli
gabah dari petani dengan harga, kualitas, dan kuantitas yang di sepakati saat
diserahkan pada waktu yang akan datang, misalnya 3 bulan kemudian. Bank lalu
membayar sesudah dilakukan perjanjian. Ketika jatuh tempo, maka petani berkewajiban
untuk menyerahkan barang yang dibeli itu (gabah). Gabah itu bisa dijual lagi
kepada pihak lain dan bank mendapatkan keuntungan darinya.
Jika
usaha pertanian diatas menggunakan bagi hasil, maka bank menyediakan modalnya,
sedangkan petani menjadi penggarapnya. Keduanya harus menyepakati pembagian
hasil sebelum petani memulai garapannya.
Contoh
lainnya adalah perdagangan. Karena dalam perdagangan umumnya ada perputaran
dana, maka nasabah dapat mengajukan pembiayaan mudharabah[13].
Bank dan nasabah dapat berbagi hasil/keuntungan dengan memperkirakan perputaran
rata-rata omset pada tiap bulannya.
C. Syarat
Administratif
Seperti
juga dalam perbankan konvensional, perbankan syariah menetapkan syarat-syarat
umum untuk sebuah pembiayaan, seperti:
1.
Surat permohonan
tertulis, dengan dilampiri proposal yang memuat antara lain gambaran umum
usaha, rencana atau prosfek usaha, rincian dan rencana penggunaan dana, jumlah
kebutuhan dana, dan jangka waktu penggunaan dana.
2.
Legalitas usaha,
seperti identitas diri, akta pendirian usaha, surat izin umum perusahaan, dan
tanda daftar perusahaan.
3.
Laporan keuangan,
seperti neraca dan laporan rugi laba, data persediaan terakhir, data penjualan,
dan fotokopi rekening bank.
IV.
PERKEMBANGAN
PERBANKAN SYARIAH
A.
Awal
Kelahiran Sistem perbankan Syariah
Hingga awal abad ke-20, bank syariah hanya
merupakan bahan diskusi teoretis. Belum ada langkah nyata yang memungkinkan
implementasi praktis gagasan tersebut. Padahal, telah muncul kesadaran bahwa
bank syariah merupakan solusi masalah ekonomi untuk menghasilkan kesejahteraan sosial
di negara-negara islam.
Upaya memperkenalkan bank syariah saat itu
baru berupa diskusi terbatas atas inisiatif individu. Upaya tersebut seperti
tenggelam di tengah besar dan kuatnya sistem operasional bank-bank non-islam.
Seolah-olah diskusi tersebut akan sia-sia belaka. Sepertinya tidak ada celah yang
memungkinkan untuk mendirikan dan menerapkan sistem perbankan syariah.
Namun, gagasan tersebut terus berkembang,
meskipun secara perlahan. Beberapa uji coba mulai dilakukan. Mula-mula dalam
bentuk proyek sederhana, lalu dikembangkan dalam kerjasama bersekala besar,
hingga para pemrakarsa perbankan syariah dapat membuat infrastruktur sistem
perbankan yang bebas bunga.
1.
Mit
Ghomer Bank
Rintisan perbankan syariah mulai mewujud
di Mesir pada dekade 1960-an dan beroperasi sebagai rural-social bank (semacam lembaga keuangan unit desa di Indonesia)
disepanjang delta sungai Nil. Lembaga dengan nama Mit Ghamar Bank binaan Prof.
Dr. Ahmad Najjar tersebut hanya beroperasi di pedesaan Mesir dan berskala
kecil. Namun, institusi tersebut mampu menjadi pemicu yang sangat berarti bagi perkembangan sistem finansial
dan ekonomi islam.
2.
Islamic
Development Bank
Pada sidang menteri Luar-Negeri negara-negara
Organisasi Konferensi Islam di Karachi-Pakistan, Desember 1970, Mesir
mengajukan sebuah proposal untuk mendirikan bank syariah. Proposal yang disebut
studi tentang pendirian Bank Islam Internasional untuk Perdagangan dan
Pembangunan (Internasional Islamic Bank for Trade and Development) dan proposal
pendirian Federasi Bank Islam (Federation of Islamic Banks) dikaji para ahli
dari 18 negara islam.
Proposal tersebut pada intinya mengusulkan
bahwa sistem keuangan berdasarkan bunga harus digantikan dengan suatu sistem kerjasama dengan skema bagi hasil keuntungan maupun
kerugian. Proposal tersebut diterima. Sidang menyetujui rencana mendirikan Bank
Islam Internasional dan Federasi Bank Islam.
Proposal
tersebut antara lain mengusulkan untuk:
1.
Mengatur transaksi
komersial antar Negara islam.
2.
Mengatur institusi
pembangunandan investasi.
3.
Merumuskan masalah
transfer, kliring, serta settlement
antar bank sentaral di Negara islam sebagai langkah awal menuju terbentuknya
system ekonomi islam yang terpadu.
4.
Membantu
mendirikan institusi sejenis bank sentaral syariah di Negara islam.
5.
Mendukung
upaya-upaya bank sentral di Negara islam dalam hal pelaksanaan
kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan kerangka kerja islam.
6.
Mengatur administrasi
dan mendayagunakan dana zakat.
7.
Mengatur kelebihan
likuiditas bank-bank sentral Negara islam.
Selain
hal tersebut diatas, diusulkan pula pembentukan badan-badan khusus yang disebut
Badan Investasi dan Pembangunan Negara-Negara Islam (Investment and development
Body of Islamic Countries). Badan tersebut akan berfungsi sebagai berikut:
1.
Mengatur investasi
modal islam.
2.
Menyeimbangkan
antara investasi dan pembangunan di Negara islam.
3.
Memilih
lahan/sector yang cocok untuk investasi dan mengatur penelitiannya.
4.
Memberi saran dan
bantuan teknis bagi proyek-proyek yang dirancang untuk investasi regional di negara-negara
islam.
Sebagai rekomendasi tambahan, proposal
tersebut mengusulkan pembentukan perwakilan-perwakilan khusus yaitu Asosiasi
Bank-Bank Islam (Association of Islamic Banks) sebagai badan konsultatif untuk
masalah-masalah ekonomi dan perbankan syariah. Tugas badan ini diantaranya
menyediakan bantuan teknis bagi negara-negara islam yang ingin mendirikan bank
syariah dan lembaga keuangan syariah. Bentuk dukungan teknis tersebut dapat
berupa pengiriman para ahli ke negara tersebut, penyebaran atau sosialisasi sistem
perbankan islam, dan saling tukar informasi dan pengalaman antarnegara islam.
Pada Sidang Menteri Luar-Negeri OKI di
Benghaji,Libya, Maret 1973, usulan tersebut kembali diagendakan. Sidang juga
kemudian memutuskan agar Oki mempunyai bidang yang khusus menangani masalah
ekonomi dan keuangan. Bulan Juli 1973, komite ahli yang mewakili negara-negara
islam penghasil minyak bertemu di Jeddah untuk membicarakan pendirian bank
islam. Rancangan pendirian bank tersebut, berupa anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga, dibahas pada pertemuan kedua, Mei 1974.
Sidang Menteri Keuangan OKI di Jeddah 1975,
menyetujui rancangan pendirian Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development
Bank (IDB) dengan modal awal 2 milyar dinar islam atau ekuivalen 2 milyar SDR
(Special Drawing Right). Semua negara anggota OKI menjadi anggota IDB.
Pada tahun-tahun awal beroperasinya, IDB
mengalami banyak hambatan karena masalah politik. Meskipun demikian, jumlah
anggotanya makin meningkat, dari 22 menjadi 43 negara. IDB juga terbukti mampu
memainkan peran yang sangat penting dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan
negara-negara Islam untuk pembangunan. Bank ini memberikan pinjaman bebas bunga
untuk proyek infrastruktur dan
pembiayaan kepada negara anggota berdasarkan partisipasi modal negara tersebut.
Dana yang tidak dibutuhkan negara segera digunakan bagi perdagangan luar negeri
jangka panjang dengan menggunakan sistem murabahah
dan ijarah.
3.
Islamic
Research and Training Institute
IDB
juga membantu mendirikan bank-bank islam di berbagai negara. Untuk pengembangan
sistem ekonomi syariah, institusi ini membangun sebuah institut riset dan
pelatihan untuk pengembangan penelitian dan pelatihan ekonomi islam, baik dalam
bidang perbankan maupun keuangan secara umum. Lembaga ini disingkat IRTI
(Islamic Research and Training Institute).
B.
Pembentukan
Bank-Bank Syariah
Berdirinya IDB telah memotivasi banyak negara
islam untuk mendirikan lembaga keuangan syariah. Untuk itu, komite ahli IDB pun
bekerja keras menyiapkan panduan tentang pendirian, peraturan, dan pengawasan bank
syariah. Kerja keras mereka membuahkan hasil. Pada akhir periode 1970-an dan
awal dekade 1980-an, bank-bank syariah bermunculan di Mesir, Sudan,
negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh serta Turki.
Secara garis besar, lembaga-lembaga
tersebut dapat dimasukkan ke dalam dua kategori. Pertama, bank islam komersial
(Islamic Comercial Bank). Kedua, lembaga investasi dalam bentuk Internasional Holding Companies[14].
Bank bank yang masuk kategori pertama
diantaranya:
1.
Faisal Islamic
Bank (di Mesir dan Sudan)
2.
Kuwait Finance
House
3.
Dubai Islamic Bank
4.
Jordan Islamic
Bank for Finance and Investment
5.
Bahrain Islamic
Bank
6.
Islamic
Internasional Bank for Investment and Development (Mesir)
Adapun yang termasuk kategori kedua:
1.
Daar Al-Maal
Al-Islami (Jenewa)
2.
Islamic Investment
Company of the Gulf
3.
Islamic Investment
Company (Bahama)
4.
Islamic Investment
Company (Sudan)
5.
Bahrain Islamic
Investment Bank (Manama)
6.
Islamic Investment
House (Amman)
C.
Perkembangan
Bank Syariah di Indonesia
Berkembangnya bank-bank syariah di negara-negara
Islam berpengaruh ke Indonesia. Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai
bank syariah sebagai pilar ekonomi islam mulai dilakukan. Para tokoh yang
terliabat dalam kajian tersebut adalah Karnaen A. Perwataatmaja, M. Dawan
Hahardjo, A.M. Saefudin, M. Amien Azis, dan lain-lain. Beberapa uji coba pada
skala yang relatif terbatas telah diwujudkan. Diantaranya, adalah Baitut
Tamwil-Salman, Bandung, yang yang sempat tumbuh mengesankan. Di Jakarta juga
dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koperasi Ridho Gusti.
Namun, prakarsa lebih khusus untuk
mendirikan bank Islam di Indonesia baru dilakukan pada tahun 1990. Majelis
Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agustus 1990 menyelenggarakan
Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil
lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI yang
berlangsung di Hotel Sahid Jaya Jakarta, 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat
Munas IV MUI, dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia.
Kelompok kerja yang disebut Tim Perbankan
MUI bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.
BAB
III
KESIMPULAN
Dalam beberapa hal, bank konvensional
dan bank syariah mempunyai persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan
uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan, syarat-syarat umum
pembiayaan seperti KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan, dan sebagainya.
Namun, terdapat banyak perbedaan mendasar diantara keduanya. Perbedaan itu
menyangkut asfek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan
lingkungan kerja.
Sangat disayangkan, dewasa ini masih
banyak kalangan yang menilai bahwa Islam tidak berurusan dengan bank dan pasar
uang, karena yang pertama adala dunia putih sementara yang kedua adala dunia
hitam, penuh tipu daya dan kelicikan. Oleh karena itu tidaklah mengherankan
beberapa cendekiawan dan ekonom melihat Islam, dengan sistem nilai dan tatanan
normatifnya, sebagai faktor penghambat pembangunan. Penganut faham liberalism
dan pragmatisme sempit ini menilai bahwa kegiatan ekonomi dan keuangan akan
semakin meningkat dan berkembang bila dibebaskan dari nilai-nilai normative dan
rambu-rambu Ilahi. Adalah saatnya kita menegaskan kembali bahwa muamalah
syariah, dengan filosofi utama kemitraan dan kebersamaan dapat mewujudkan
kegiatan ekonomi yang lebih adil dan transparan. Adalah saatnya kita
membuktikan bahwa dengan sistem perbankan syariah kita dapat menghilangkan
wabah penyakit negative spread
(keuntungan minus) dari dunia perbankan hingga keakar-akarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafi’i. 1999. Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum. Jakarta:Tazkia
Institute
Al-Barry, M.D.J, & A.T. Sofyan Hadi.
2000. Kamus Ilmiah Kontemporer. Bandung:Pustaka
Setia.
Tim KHES. 2008. Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah. Mahkamah Agung Republik Indonesia.
M. Echols John, & Shadily Hassan. Kamus
Inggris Indonesia/An English-Indonesian Dictionary. Jakarta:Gramedia
Manan, Muhammad Abdul. 1993. Teori
dan praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta:Dana Bhakti Wakaf.
Syafe’I,
Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung:
Pustaka Setia.
[1]
Al-Barry, M.D.J, & A.T. Sofyan Hadi. Kamus
Ilmiah Kontemporer. (Bandung:Pustaka Setia.2000) hlm 210. Dalam kamus ini Mobilisasi berarti Pengerahan.
[2]
Tim KHES. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
(Mahkamah Agung Republik Indonesia,2008).
[3]
M. Echols John, & Shadily Hassan. Kamus
Inggris Indonesia/An English-Indonesian Dictionary. (Gramedia) hlm 173.
[4]
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah
Suatu Pengenalan Umum (Tazkia Institute,I999) hlm 194.
[5]
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah
Suatu Pengenalan Umum (Tazkia Institute,I999) hlm 194.
[6]
M. Echols John, & Shadily Hassan. Kamus
Inggris Indonesia/An English-Indonesian Dictionary. (Gramedia) hlm 581.
Dalam kamus Team Work berarti Kerja
Sama Sekelompok.
[7]
M. Echols John, & Shadily Hassan. Kamus
Inggris Indonesia/An English-Indonesian Dictionary. (Gramedia) hlm 456 dan
485. Dalam kamus ini Reward berarti
Hadiah, sedangkan Punishment berarti
hukuman(sanksi).
[8]
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah
Suatu Pengenalan Umum (Tazkia Institute,I999) hlm 199.
[9]
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah
Suatu Pengenalan Umum (Tazkia Institute,I999) hlm 205-211
[10]
Manan, Muhammad Abdul. Teori dan praktek
Ekonomi Islam. (Yogyakarta:Dana Bhakti Wakaf.1993) hlm 173- 175.
[12]
(Q.S. Al-Baqarah:275).
[13]
Syafe’I, Rachmat. Fiqih Muamalah.
(Bandung: Pustaka Setia. 2001) hlm 223.
[14]
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah
Suatu Pengenalan Umum (Tazkia Institute,I999) hlm 232